Pengikut

Isnin, Mac 20, 2017

"KAMI tidak reda bayar cukai!"

TELAH disebarkan dalam media baru, data cukai GST 6 peratus yang didakwa menguntungkan pemerintah dan sebagai bukti penderitaan rakyat.  Ayat-ayat yang disertakan itu meminta rakyat pembayar cukai sedar.  Dalam banyak diskusi politik pula biasa kedengaran agar rakyat tidak meredai semua pembayaran cukai kepada kerajaan, kerna mereka mendakwa para pemimpin negara memboroskan wang yang diperoleh daripada cukai rakyat.


Kebanyakan kita sebagai rakyat telah diasuh untuk buruk sangka terhadap pemerintah.  Apa saja usaha pemerintah pasti disudahi kesimpulan: pemerintah memeras tenaga dan keringat rakyat. Maka rakyat mesti mencela atau membenci pemimpin negara.  Bersangka-sangka itu bukannya fakta zahir, malah hanya ilusi atau gambaran tidak pasti.  Apakah Islam melayan suatu sangkaan untuk membuat hukuman atau keputusan?

Daripada Hisyam bin Urwah, daripada ayahnya, daripada Zainab, daripada Ummu Salamah r.a., bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda (maksudnya), “Kalian menyerahkan persengketaan kalian padaku. Namun bisa jadi sebagian daripada kalian lebih pintar dalam berhujah daripada yang lain.  Maka barang siapa yang kerna kepintarannya itu, aku tetapkan suatu hal yang sebenarnya adalah hak orang lain. Maka hakikatnya, pada ketika itu aku telah menetapkan baginya sepotong api neraka.  Oleh itu hendaknya jangan mengambil ak orang lain.” (HSR Al-Bukhari (2680), Muslim (1713), An-Nasai (5401) dan At-Tirmidzi (1339)

Syeikh ‘Athiah Salim memberi komentar hadis itu bermaksud, hakim akan menghukumi suatu perkara berdasarkan hujah yang nyata di hadapannya.

Begitulah dalam agama memberi prinsip kita membuat keputusan berdasarkan fakta yang kita ketahui, bukan dengan menyangka-nyangka hal yang belum jelas. Hal ini dijelaskan oleh Syeikh Dr Khalid Basmalah ketika menanggapi sedekah kepada orang yang akhirnya diketahui seorang pendusta.  Misalnya ada orang meminta sumbangan infak untuk membangun masjid, namun pada waktu lain kita ketahui bahwa dia rupanya berdusta ketika mencari dana infak. Menurut Syeikh Dr Khalid, kita berhukum berdasarkan zahirnya.  Zahirnya dia meminta dana untuk kebajikan, maka kita infak kepadanya. Dan insya Allah atas keikhlasan itu ada pahala infak sekalipun suatu masa terbukti infak kita rupanya tidak untuk membangun kebajikan umat.

Begitulah kita membayar cukai-cukai atau bea  yang diwajibkan oleh pemerintah atau kerajaan.  Zahirnya permintaan kerajaan adalah untuk kebajikan bernegara. Negara memerlukan dana untuk pengurusan dan pembangunan, maka kerajaan menentapkan hal-hal percukaian.  Rakyat telah membayarnya atas permintaan kerajaan yang zahir.  Jika nanti kita mengetahui ada sebagian pegawai tinggi kerajaan melakukan korupsi dalam membelanjakan wang kerajaan (hasil percukaian), apakah pahala kita membayar cukai hilang? Tidak sama sekali.

Atau ya pahala hilang jika kita tidak ikhlas, mengungkit-ungkit pembayaran cukai kepada kerajaan.  Percuma atau sia-sia, wang ratusan ringgit atau ribuan ringgit yang dibayar kepada kerajaan dalam bentuk cukai tidak mendatangkan pahala kebajikan yang sangat berguna di akhirat kelak.  Walhal Allah memberi jaminan gandaan 700 peratus  infak atau sumbangan untuk kebajikan. Lihat maksud ayat 261 al-Baqarah, “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada 100 biji. Allah melipatgandakan bagi sesiapa yang Dia kehendaki dan Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.”

Berkenaan kewajiban rakyat terhadap pemerintah atau kerajaan  ialah mematuhi perintah yang baik. Percukaian adalah perintah yang baik dalam  bernegara. Bisa dilihat Allah mewajibkan orang beriman mentaati Allah, rasul dan pemerintah. Itu dalam ayat 59 surah An-Nisa.

Namun jika  apa saja kebajikan yang kita lakukan termasuk pembayaran cukai itu diungkit-ungkit, hapuslah semua pahalanya.  Kita bisa lihat ayat 264 surah al-Baqarah, Allah umpamakan pahala kebajikan kita debu di atas batu licin, apabila ditimpa hujan habis hilanglah debu itu. Maknanya, apabila kita ungkit-ungkit semula kebajikan yang lalu, habis licinlah pahala yang asalnya ada.  Apakah kita hendak rugi begitu hanya kerna mendengar sangka-sangkaan yang jelas daripada syaitan?

Ya, terpulanglah kepada keimanan masing-masing.

Rabu, Mac 08, 2017

BAIK rakyat, baiklah pemimpin

foto untuk hiasan

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.
 Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala.” (Lihat Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178)


Sabtu, Mac 04, 2017

BERAPA kali demontrasi antitahlilan?

MEMPENGARUHI atau menghasut pemikiran, sama saja sifatnya. hal ini berlaku terhadap sesuatu pemahaman yang dikatakan salah mahu dihalang. Maksud salah pun bisa saja jadi macam-macam.
Foto untuk hiasan
Ada orang agama yang betah dan mendapat nikmat hidup kerna kerja agamanya. jika ada pemahaman lain yang mengganggu kebetahannya, dia pasti marah. Oleh kerna masyarakat sudah menerima saja lisannya, tugasan hidupnya menjadi lebih mudah.

Agama yang benar ialah yang persis seperti dalam al-Quran dan hadis sahih Nabi s.a.w. Tanpa dua sumber itu, sudah lama Islam musnah sebagai agama langit. Itu telah terjadi pada agama Yahudi dan Nasrani.  Dalam khutbah akhir Nabi s.a.w. di Arafah pun dipesankan jangan meninggali al-Quran dan Sunahnya.

Rupa-rupanya tak semua yang dinamakan ritual ibadah di negeri kita persis seperti aturannya Nabi s.a.w. Ada sedikit-sedikit seperti ritual tahlilan itu bukan berdasar Sunah Nabi s.a.w.  Namun tahlilan sudah mendalam seperti akar tunjang pohon besar.  Apa saja berkumpulnya orang atas nama agama mesti dibuat tahlilan.

Kemudian muncul golongan yang mahu membuat tajdid, mahu memurnikan atau mengembalikan ritual agama ini seperti yang dijalankan oleh Nabi s.a.w. dan para sahabatnya. Tentu saja orang-orang yang sudah betah dengan tahlilan jadi marah. Maka mereka melabel 'wahhabi' kepada yang mahu membuat tajdid. Untuk menguat hujah agar menjauhi orang atau ustaz berfikrah 'sunah' atau 'salafi' atau wahhabi itu, masyarakat diingatkan bahaya berpecah-belah. Dan paling keras golongan sunah-salafi-wahhabi didakwa bakal membunuh orang yang tidak sefaham dengan mereka! Duh... semua gerun.

Hakikatnya apa? Pemahaman sunah atau salafi atau wahhabi sudah ada sejsk awal kurun ke-20 yang lalu. Dahulu mereka dipanggil 'kaum muda'. Dalam sejarah kaum muda menyumbang pada pengembangan dan membuka data fikir umat Melayu. Lihatlah buku sejarah di sekolah.

Telah lebih satu abad diskusi atau debat sunah dan mana yang tidak sunah, tidak ada perpecahan seperti adanya katolik dan protestant. Tidak ada muncul partai politik memperjuangkan sunah dan meghapus bid'ah.  Tidak ada demontrasi besar saban tahun untuk mengajak umah meninggalkan tahlilan. Tidak ada perlawanan bersenjata antara kumpulan anti dan protahlilan.

Pecahnya umah sejak dahulu kerna nafsu berpolitik. orang-orang agama yang mengatakan wahhabi pemecah umat dan bakal membunuh umat Islam lain juga sedang berada dalam salah satu partai yang membenci malah meracun kebencian partai lawannya!

Kerna berpolitik, terbukti sebuah keluarga berantakan. Ada suami istri bercerai akibat paham politik yang berbeda. Ada sekumpulan umat mati berdarah akibat berbeda paham politik. Malah begitu banyak demontrasi massa di merata-rata itu pun disebabkan pergaduhan politik.

Mengapa orang-orang agama yang betah dengan tahlilan itu tidak membayangkan bunuh-membunuh akan berlaku akibat perbedaan dan pertelingkahan politik sekarang? Jawabannya, sebab ahli-ahli agama yang memusuhi sunah-salafi-wahabi itu sebagian daripada aktor partai politik yang hari-hari menyuburkan kebencian umat terhadap anggota dan partai lawannya. Mereka menutupi kebejatan diri dengan mengalih perhatian masalah umah kepada pihak lain.